Kebakaran Hutan dan Perburuan

Kebakaran Hutan dan Perburuan

Setiap datang musim kemarau, membayang pula di belakangnya ancaman rutin yang sudah bisa diprediksi; paceklik. Penghasilan petani berkurang akibat musim kering, kualitas dan kuantitas panen menurun, bahkan gagal. Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang tidak bisa menunggu hingga musim hujan datang, petani memilih berburu untuk tetap bisa bertahan. Ini bisa dimaklumi sebab berburu barangkali sudah mendarah daging bagi manusia. Mulai dari zaman pra sejarah hingga zaman modern, berburu sudah menjadi rutinitas. Yang berubah hanya pola, bentuk dan frekuensinya saja. Bisa disimpulkan bahwa dari dahulu kala berburu menjadi jalan utama manusia dalam memenuhi kebutuhan pangan demi bertahan hidup.

Seiring berjalannya waktu, berburu lebih dari sekadar mencari hewan di hutan untuk kebutuhan pangan, namun sudah berkembang menjadi hobi layaknya memancing ikan, tak terkecuali di kawasan taman nasional. Menurut Sukatmoko, SP. (Koordinator Data, Monev dan Kehumasan Balai Taman Nasional Way Kambas), di bentang alam Way Kambas sendiri aktifitas berburu menjadi ancaman utama. Meskipun yang diburu bukanlah hewan atau satwa yang dilindungi seperti harimau, badak dan gajah, namun aktifitas ini tetap mengancam karena cara yang dipakai adalah dengan membakar hutan. Jadi, selain pembukaan lahan untuk perkebunan, kebakaran hutan juga disebabkan oleh adanya aktifitas perburuan.

Pemburu akan membakar bidang lahan yang sudah dipilih sejak awal, setelah lahan itu hangus terbakar, beberapa saat kemudian rumput dan pucuk tanaman akan tumbuh. Ini kemudian akan memancing hewan mangsa seperti babi hutan dan rusa untuk merumput di lokasi tersebut. Hewan yang merumput di sana selanjutnya akan menjadi target bagi pemburu. Pola seperti ini juga dikonfirmasi oleh Syafrizaldi, seorang pegiat konservasi yang sudah lama berkegiatan di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh. “Selain merusak hutan tempat hidup satwa dilindungi, berburu babi hutan dan rusa juga akan merusak rantai makanan dalam ekosistem taman nasional,” ungkapnya di sela-sela obrolan.

Kembali ke bentang alam Way Kambas, salah satu yang menjadi target Tropical Forest Conservation Action for Sumatra (TFCA-S) adalah para pelaku perburuan tersebut. TFCA-S melalui mitranya sudah banyak mendampingi masyarakat yang sering beraktifitas di dalam kawasan taman nasional. Sejauh ini upaya pendampingan di bentang alam Way Kambas cukup membuahkan hasil dengan menurunnya aktifitas masyarakat atau petani di bentang alam tersebut. Pendekatan persuasif menjadi cara utama pihak Balai Taman Nasional Way Kambas dalam mengatasi perburuan dan pembakaran hutan. “Udah gak jaman lagi kita patroli mikul ransel di dalam taman nasional, cukup ajak masyarakat ngopi bareng, beres!” Ucap Sukatmoko dengan tersenyum yakin.

Dengan adanya upaya pendampingan petani dan masyarakat desa penyangga, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan perekonomian mereka. Sehingga para petani tersebut lebih siap menghadapi datangnya musim paceklik tanpa harus beralih profesi dari petani menjadi pemburu. Yang pada gilirannya akan menghindarkan kawasan taman nasional dari ancaman kebakaran dan ekosistem di bentang alam tersebut tetap terjaga dengan baik.