Sri Bungo si Kader Perempuan Tangguh
Sri Bungo (21th), merupakan salah satu kader perempuan dari komunitas Suku Anak Dalam Desa Dwi Karya Bakti Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya di tengah keluarga, Sri Bungo merasa sangat disayang oleh 3 orang saudara laki-lakinya. Sumber mata pencaharian keluarga ini adalah berburu dan berkebun. Meski tidak menghasilkan keuntungan yang besar, penghasilan tersebut cukup untuk membiayai hidup mereka sehari-hari.
Akan tetapi semua berubah setelah ayahnya meninggal dunia karena sakit. Sri Bungo terpaksa menikah dengan seorang pria atas pilihan keluarganya pada tahun 2020 silam. Menurutnya, pernikahan ini bisa meringankan beban tanggungan ibunya.
Namun malang tak dapat dielak, karena perbedaan pendapat dan hal lainnya, rumah tangga Sri Bungo harus kandas di usia satu tahun pernikahan. Kini di usianya yang masih muda, Sri Bungo harus menjadi orang tua tunggal untuk Reno (3 th) anak hasil dari pernikahannya.
Sri Bungo hanya salah satu dari banyak perempuan di komunitas SAD yang tidak mampu menentang tradisi atau budaya untuk menikah muda. Bagi komunitas SAD, bukan hal tabu untuk menikahkan anak gadis mereka bila sudah masuk waktu baligh. Anak perempuan juga tidak punya hak untuk menentang pernikahan tersebut sebab mereka sudah terbiasa untuk tidak dimintai pendapat dalam urusan apapun. Kini tidak pernah terbayang dalam benaknya akan status janda yang kini ia sandang, menyesal pun baginya sudah tidak ada guna.
Reno, menjadi satu-satunya sumber kekuatan Sri bungo untuk bertahan. Meski kini hidup tanpa suami, Sri Bungo ingin membuktikan bahwa dirinya cukup kuat dan tangguh memperjuangkan hidup. Usai ditinggal mantan suaminya, Sri Bungo kembali tinggal bersama ibu kandungnya.
Biasanya Sri Bungo akan ikut kelompok perempuan di komunitasnya untuk mencari aneka hasil hutan, seperti jernang, pinang, jengkol, kabau atau buah-buahan.
“Kami pergi ke hutan samo-samo. Yang lanang biasanya mengambil buah di pohon yang cukup tinggi. Kalau kami ambil buah di bagian pohon yang rendah-rendah bae,” cerita Sri Bungo. Hasil yang mereka dapatkan tersebut nantinya akan dibagi rata.
“Biasonyo setelah bagi rato, kami dapat antara limo puluh ribu sampai tigo ratus ribu. Tapi itu kan dak setiap hari,” ujarnya. Hasil penjualan tersebut biasanya ia berikan kepada ibunya. Bagi mereka uang tersebut bisa cukup untuk makan sederhana beberapa hari kedepan.
Jika tidak begitu sibuk dalam mencari nafkah, Sri Bungo juga aktif terlibat dalam kegiatan usaha Mina Hasop Eluk dan kegiatan-kegiatan lainnya. Bahkan jika terdapat pesanan; secara mandiri ia kerap mengkoordinir anggota kelompoknya untuk melakukan produksi ikan asap, mulai dari melakukan pemanenan, mengasap ikan, mengemas dan memenuhi semua pesanan yang masuk. Pelibatan Sri Bungo dalam kegiatan di kelompok menjadi salah satu upaya pengkaderan yang dilakukan oleh Pundi Sumatra.
Keinginan untuk menciptakan kelompok perempuan yang berdaya dan mandiri menjadi salah keinginan Pundi Sumatra. “Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kegiatan ekonomi ataupun kegiatan lainnya merupakan peran penting agar kelompok adat ini lebih berkembang dan maju,” tutur Yori selaku koordinator program. Maka dari itu pembentukan kader ini menjadi langkah yang penting.
Kepemimpinan Sri Bungo semakin terlihat sejak digalakkan posyandu khusus pada 6 bulan terakhir atas inisiasi Tim Matching Fund Universitas Jambi dan Pundi Sumatra. Partisipasi dan semangatnya yang tinggi dalam setiap kegiatan, mengantarkannya terpilih juga sebagai ketua posyandu khusus “Aoh Berghsih”.
Posyandu khusus ini merupakan pengembangan dari posyandu yang ada di desa. Biasanya proses pelaksanaan posyandu mengacu pada sistem 5 meja, yaitu Meja 1 Pendaftaran oleh Kader, Meja 2: Penimbangan oleh Kader Meja 3: Pengisian KMS oleh Kader, Meja 4: Penyuluhan oleh Kader dan Meja 5: Pelayanan Kesehatan oleh Kader atau kader bersama petugas kesehatan.
Posyandu khusus tersebut menambahkan 2 meja yang akan diisi oleh kader dari kelompok SAD ini, yaitu Meja 6: Pengobatan tradisional, dan Meja 7: Konsultasi.
“Kami hanya ingin membantu warga, mungkin hanya ini caro yang kami bisa Bu!” ujarnya. Tidak ada keterpaksaan yang ia rasakan saat diberikan tanggung jawab memimpin kelompok posyandu khusus tersebut.
“kami pun harus bawa Reno ke posyandu, kami ingin dio sehat dan tidak gampang sakit. Mungkin dari posyandu ini, kami bisa belajar masalah kesehatan untuk anak!” tambahnya.
Kaderisasi yang Pundi Sumatra lakukan, secara perlahan mulai memanen hasil. Sosok Sri Bungo menambah daftar kader perempuan di kelompok ini. Meski kakinya sulit melangkah jauh dari rumah, namun kiprah dan semangatnya untuk berjuang bagi komunitas sangatlah membanggakan.
Baca juga : Kuliah Lapang sepasang remaja Suku Anak Dalam