Peningkatan Kapasitas Bagi Tim Lapangan Pundi Sumatra
Memasuki pelaksanaan program, Pundi Sumatra meningkatkan kapasitas Staf Lapangan. Mereka melaksanakan pelatihan dari tanggal 14 hingga 15 Maret 2024 di Room Meeting Pundi Sumatra. Selama dua hari kegiatan ini, pendamping lapangan belajar melakukan kajian dan metode partisipatif terhadap masalah dan kondisi masyarakat dampingan.
Dewi Yunita, CEO Pundi Sumatra, menjelaskan bahwa pendamping atau fasilitator lapangan berperan sebagai ujung tombak kegiatan pemberdayaan yang menentukan kecepatan perkembangan di lapangan. Ia menekankan bahwa pendamping harus memiliki kesediaan dan kepedulian serta terus memupuk rasa ingin tahu, kreativitas, dan mengembangkan inovasi serta strategi pendekatan baru. Pendamping harus berusaha mendorong perubahan sosial dengan lebih cepat.
“Pendamping juga harus dibekali dengan kemampuan atau menguasai metode-metode pendampingan. Mereka dituntut memahami komunitas dampingannya secara menyeluruh, sehingga bisa memetakan potensi dan permasalahan yang ada, agar dapat merancang kegiatan yang berbasis kebutuhan dan situasi aktual di desa,” ujar Dewi.
Tim lapangan memberikan materi pelatihan mengenai Participatory Rural Appraisal (PRA) dan Free and Prior Informed Consent (FPIC). Kedua materi ini menjadi landasan awal untuk mengembangkan program di masing-masing lokasi dampingan.
PRA dan FPIC sebagai Pendekatan Terhadap Perencanaan dan Pengelolaan Proyek
Pada hari pertama, peserta menerima materi mengenai konsep PRA dan penerapannya oleh Damsir Chaniago dan Riya Dharma selaku narasumber dan fasilitator pelatihan. Materi PRA yang cukup padat ini dibagi menjadi dua sesi, sesi pertama membahas mengenai teknik penelusuran sejarah, perubahan dan kecenderungan, serta konsep peta sketsa. Sedangkan pada sesi kedua, berisi tentang teknik diagram venn, kalender musim, dan analisa sebab akibat.
Berdasarkan penyampaian Riya Dharma, metode PRA adalah metode yang efektif untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat. Metode ini merupakan metode pendekatan pembangunan yang berbasis pada keterlibatan masyarakat dari awal kegiatan, perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi.
“Ketika kita bicara soal PRA, maka pengetahuan dan permasalahan di tingkat desa akan tergali.Hasil jangka panjangnya berupa kelembagaan, dan tindakan masyarakat yang berkelanjutan,” ujar Riya. Lebih lanjut Riya juga menjelaskan bahwa masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama, sedangkan fasilitator adalah pihak luar sehingga sebaiknya fasilitator berperan sebagai pihak yang menyempurnakan argumen-argumen dari masyarakat.
Adapun teknik-teknik PRA yang disampaikan oleh Damsir diantaranya adalah 1) Penelusuran alur sejarah; 2) kecenderungan dan perubahan; 3) Pemetaan partisipatif; 4) Teknik transect; 5) Pembuatan sketsa kebun; 6) Penyusunan kalender musiman; 7) Diagram venn; 8) Analisis sebab akibat; 9) Kajian mata pencaharian; dan 10) Wawancara semi terstruktur.
Menurut Damsir, untuk memahami teknik-teknik tersebut dengan cepat agar sepuluh teknik tersebut menjadi dapat dikelompokan dalam empat point, yaitu ruang, waktu, keputusan, dan aliran.
“Aspek waktu juga berhubungan dengan kalender musiman, jangan sampai ketika warga sedang musim panen, kita malah sibuk mengadakan rapat, ya tidak akan datang orang,” ujarnya.
Memasuki hari kedua pelatihan, Pundi Sumatra menghadirkan Dr. Maroto, S.Hut., M.Hut. selaku narasumber untuk mengisi materi Free Prior Informed Consent (FPIC). Maroto menjelaskan bahwa FPIC merupakan suatu proses untuk memastikan masyarakat adat atau lokal untuk menjalankan hak-hak fundamentalnya yang menyatakan apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap suatu aktivitas, program, atau kebijakan yang akan dilaksanakan dan berpotensi berdampak pada kawasan, sumber daya, maupun kehidupan masyarakat.
“Biasanya akan diadakan dua kali sosialisasi untuk mencapai kesepakatan ini. Sosialisasi pertama hanya menyampaikan tentang program yang akan dijalankan, tidak langsung meminta persetujuan. Baru di sosialisasi kedua kita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih timbul. Dari sinilah harus ada kesepakatan. Jika ada yang tidak setuju, biasanya akan kita berikan pendekatan lebih dalam,” jelasnya. Lebih lanjut Marwoto juga menjelaskan bahwa gender equality juga harus dimasukkan dalam program pembangunan, baik dari segi pemungutan suara maupun hasil akhirnya.
Pengenalan Lembaga oleh Badan Pengurus
Selain meningkatkan kapasitas, workshop Tim Pundi Sumatra memperkenalkan kelembagaan yang dikelola oleh Badan Pengurus. Badan Pengurus Pundi Sumatra terdiri dari Mahendra Taher sebagai ketua, Syafrizaldi sebagai sekretaris, dan Hambali sebagai bendahara. Mereka mengawasi berjalannya lembaga Pundi Sumatra. Badan Pelaksana menjalankan aktivitas kelembagaan dengan struktur organisasi yang mencakup top manajer hingga staf junior.
Dalam penyampaiannya, Mahendra Taher menjelaskan bahwa Pundi Sumatra mulai berdiri sejak tahun 2006 sebagai sebuah program.
“Peran kita sangat-sangat berbeda dengan LSM yang ada di Sumatra. Kita mengelola sejumlah dana kemudian kita teruskan ke beberapa LSM dan masyarakat di desa, seperti kelompok koperasi. Kita beri kisaran 40 sampai 120 juta, dan itu dari seluruh bagian Sumatra kecuali Aceh,” ujarnya. Lebih lanjut, Taher juga menceritakan bahwa kegiatan penyaluran hibah baru terhenti sejak tahun 2018, kala itu peran penyaluran dana mulai berkurang dan Pundi Sumatra mulai mengemban mandat sebagai fasilitator wilayah dalam program TFCA Sumatera.
“Pertama Kali kita bergerak sebagai implementor adalah di tahun 2015 pada program Sudung,” tambahnya. Hingga saat ini, Pundi Sumatra memiliki 3 program yang masih berjalan, yaitu Program Cendikia, Program Sudung, dan Program Kokke (Komoditas dan Konservasi).
Ketiga program yang dimiliki oleh Pundi Sumatra sejatinya memiliki cita-cita besar untuk sama-sama mensejahterakan masyarakat dan konservasi secara bersamaan. Di akhir pertemuan, Hambali menyampaikan bahwa Pundi Sumatra awalnya berdiri karena asas kepercayaan serta jaringan nasional.
“Bertemanlah dengan sebanyak-banyaknya orang. Bangunlah jaringan yang luas, karena itulah salah satu modal untuk kita bisa berkembang,” tutup Hambali.