Ketahanan Pangan Suku Anak Dalam di Tanah Leluhur

Ketahanan Pangan Suku Anak Dalam di Tanah Leluhur

“Dengan semakin menyempitnya hutan yang dapat diakses, mereka mulai menghadapi tantangan dalam memperoleh sumber makanan, kesulitan dalam mencari jenis-jenis tanaman tertentu untuk obat herbal, termasuk mendapatkan hasil hutan bukan kayu yang dapat dijual untuk sekedar menyambung hidup.”

Di tengah derasnya arus perubahan zaman, komunitas adat Suku Anak Dalam yang dahulu dikenal sebagai masyarakat nomaden, kini sebagian mulai mengenal pola hidup baru. Dahulu mereka hidup berpindah-pindah dari satu wilayah hutan ke wilayah lainnya dengan prinsip sederhana, bahwa alam telah menyediakan segalanya, sehingga manusia hanya perlu mengambil secukupnya agar sumber daya tetap lestari. Hutan bagi mereka bukan sekedar tempat berteduh dan bertumbuh, namun juga sumber pangan, obat-obatan, dan hubungan spiritual antara mereka dengan leluhur dan dewa-dewa yang dipercayainya.

Seiring berjalannya waktu, keadaan mulai berubah. Hak guna lahan yang bergeser akibat ekspansi perusahaan, pembangunan tambang, akses jalan serta wilayah pemukiman warga; menyebabkan masyarakat adat kehilangan akses terhadap hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan. Pembukaan lahan untuk perkebunan dan industri ekstraktif membatasi ruang gerak mereka, memaksa mereka menghadapi kenyataan bahwa sumber daya yang selama ini diandalkan perlahan mulai menipis. Dengan semakin menyempitnya hutan yang dapat diakses, mereka mulai menghadapi tantangan dalam memperoleh sumber makanan, kesulitan dalam mencari jenis-jenis tanaman tertentu untuk obat herbal, termasuk mendapatkan hasil hutan bukan kayu yang dapat dijual untuk sekedar menyambung hidup.

Pilihan untuk terus bertahan dengan pola tradisional dirasa semakin sulit,  yang memaksa mereka harus mencari alternatif untuk memenuhi tuntutan perut, beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan perlahan belajar mereplikasi apa yang warga dusun lakukan dengan pola berkebun maupun bertani. Mereka tidak hanya berhadapan dengan perubahan lingkungan fisik, tetapi juga tekanan sosial dan ekonomi yang menuntut mereka untuk beradaptasi dengan kehidupan modern. Ketimpangan hak kepemilikan tanah juga menjadi masalah besar bagi mereka, karena banyak dari mereka yang tidak memiliki dokumen legal yang menyatakan kepemilikan atas tanah yang telah mereka huni selama turun-temurun. Hal ini membuat mereka semakin rentan terhadap penggusuran dan kehilangan hak mereka atas lahan.

Transisi dalam Kehidupan dengan Berladang

Pemerintah sudah mencoba berbagai strategi untuk melindungi komunitas adat yang termarginalkan ini. Selain memberikan bantuan sosial, pemerintah mulai mengalokasikan pemukiman dan perlahan komunitas mulai menghadapi transisi kehidupan dan berusaha untuk adaptif terhadap perubahan zaman yang terjadi. Meski proses ini tidak mudah, komunitas adat ini tetap berusaha untuk bertahan hidup. Mereka mulai memahami bahwa pola hidup di dalam hutan yang hanya memanfaatkan berburu dan meramu, tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup. Mereka mulai memanfaatkan sisa lahan yang ada dengan berladang, seperti yang dilakukan masyarakat desa sekitar.         

Sebenarnya, berladang bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru bagi sebagian Suku Anak Dalam. Mereka telah mengenal sistem berladang sejak zaman para puyang (buyut), dimana lahan yang digunakan untuk bercocok tanam diwariskan secara turun-temurun. Beberapa dari mereka bahkan membeli lahan dari warga dusun atau melakukan transaksi ganti rugi lahan di internal komunitasnya. Luas lahan yang mereka miliki bervariasi, mulai dari seperempat  hektar hingga 1,5 hektar. Sayangnya mereka saat memperoleh lahan dengan cara membeli, komunitas tidak terlalu memperhatikan pentingnya administrasi jual-beli atau sertifikat tanah.  Proses tersebut berlangsung dengan dasar kepercayaan dan biasanya hanya menghadirkan saksi dari kedua belah pihak.  

Suku Anak Dalam di Pematang Kejumat dan Pulau Lintang ini rata-rata sudah berladang, tapi yang paling banyak memiliki lahan adalah SAD di Pulau Lintang. Mereka sudah lebih dahulu berladang,” tutur Yoga selaku fasilitator lapangan. 

Lebih lanjut, Yoga juga menjelaskan tentang adanya sistem kekeluargaan dalam aktivitas berladang ini. Bagi mereka yang tidak memiliki lahan, sistem gotong royong menjadi solusi. Mereka akan membantu menggarap ladang milik kerabat atau sesama anggota komunitas, dan sebagai imbalannya, hasil panen akan dibagi sesuai kebutuhan mereka.            

Curiga adalah salah satu Suku Anak Dalam yang telah lama belajar berladang dari salah satu warga desa yang menjadi rekannya. Ia bercerita bahwa berladang menjadi salah satu cara mereka untuk bertahan hidup. Padi ladang dipilih karena mudah mendapatkan bibitnya. 

Kito beli bibit padi dari masyarakat desa. Sekitar 30 ribu rupiah per gantang. Satu gantang itu bisa 12 kilogram bibit,” tuturnya. 

Padi ladang yang mereka tanam, memiliki umur panen sekitar enam bulan. Dari hasil panen tersebut, Curiga bisa menghasilkan sekitar 10 gabah atau setara 500 kilogram gabah yang akan diolah menjadi beras untuk kebutuhan keluarga mereka. Namun, beras tersebut tidak dijual, melainkan dikonsumsi sendiri. Mereka hanya perlu membeli tambahan sumber protein untuk memenuhi kebutuhan pangan harian.

Minimal kami tinggal beli lauk pauk untuk makan. Beras sudah aman sampai masa panen selanjutnya,” ujar Curiga. 

Menggunakan Metode Tradisional dalam Berladang 

Sebagai komunitas adat yang hidup dari alam, mereka memanfaatkan apapun yang ada di alam untuk membantu mereka mengelola lahan. Mereka menggunakan tugal, sebatang kayu dengan ujung runcing seperti pensil yang digunakan untuk melubangi tanah sebelum benih padi dimasukkan. Jarak tanam berkisar antara 10 hingga 20 cm, dan pemupukan dilakukan secara alami tanpa menggunakan pupuk kimia atau pestisida. Gulma dibersihkan secara manual dengan metode ngerumput, yaitu mencabut rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman.

Saat musim panen tiba, mereka menggunakan alat tuai yang terbuat dari batang pohon pulai, dengan tepinya dilengkapi silet untuk mempermudah pemotongan batang padi saat dipanen.

Perempuan Suku Anak Dalam memanen padi dengan alat tradisional. Dokumentasi : M. Prayoga/Pundi Sumatra
Perempuan Suku Anak Dalam memanen padi dengan alat tradisional. Dokumentasi : M. Prayoga/Pundi Sumatra

Penggunaan alat-alat sederhana ini menunjukkan bahwa Suku Anak Dalam mampu mengolah ladang dengan memastingan keseimbangan alam dan keberlanjutan lingkungan.

Kemandirian Pangan untuk Memperkuat Ketahanan Komunitas

Praktik baik yang dilakukan komunitas Suku Anak Dalam di Pematang Kejumat dan Desa Pulau Lintang, Kabupaten Sarolangun tersebut, menunjukkan bahwa mereka mampu bertransformasi tanpa kehilangan identitas budaya mereka. Melalui aktivitas berladang, mereka turut serta dalam upaya menjaga ketahanan pangan lokal, mengurangi ketergantungan terhadap bantuan luar, dan memperkuat keberlanjutan hidup komunitas mereka sendiri.

Namun, di balik keberhasilan ini, ada isu-isu humanis yang perlu mendapat perhatian. Perubahan pola hidup yang mereka alami bukanlah sesuatu yang mereka pilih secara sukarela, melainkan akibat keterpaksaan karena kehilangan akses terhadap hutan. Hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam semakin terpinggirkan. Melalui dukungan  program IPAF (The Indigenous Peoples Assistance Facility), Pundi Sumatra berupaya untuk melakukan pemberdayaan dengan pengembangan sumber-sumber ekonomi baru termasuk meningkatkan kapasitas teknis budidaya untuk Suku Anak Dalam agar hasil produksi dalam pengelolaan sumber pangannya juga semakin meningkat. Peningkatan kapasitas ini dilaksanakan melalui kegiatan Sekolah Lapang Pertanian dan Sekolah Lapang Perikanan. 

Dalam menghadapi arus modernisasi dan keterbatasan akses terhadap sumber daya alam, mempertahankan kearifan lokal dalam pola pertanian menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, dukungan terhadap praktik-praktik baik ini perlu terus diberikan, agar kemandirian pangan tetap menjadi bagian dari identitas dan keberlanjutan hidup mereka,” tutur Dewi selaku CEO Pundi Sumatra.