Sajian Dari Hutan, Pangan Lokal Suku Anak Dalam Yang Tergerus Zaman

Sajian Dari Hutan, Pangan Lokal Suku Anak Dalam Yang Tergerus Zaman

“Mengolah ini lamo, jadi kami jarang mau buatnyo, paling seminggu sekali kalau ke hutan dan ketemu gadung atau bana baru kami olah,” tuturnya. Ia juga bercerita bahwa selama mengkonsumsi nasi rimba, tidak ada anggota keluarga yang mengalami sakit, berbeda dengan situasi sekarang yang kerap kali membuat anak-anak mereka terkena masalah pencernaan karena makanan instan.

Berkali – kali Sri Bungo meniup tumpukan ranting yang ia bakar sejak tadi, menjaga agar api tetap menyala di perapian yang ia buat di bawah sudungnya. Sudung – sudung dari terpal hitam yang ia dan rekan-rekannya buat ternyata cukup meneduhkan setiap orang yang duduk di dalamnya. Pagi itu (25/06) Sri Bungo bersama perempuan-perempuan dari Komunitas Suku Anak Dalam (SAD) Desa Dwi Karya Bakti cukup disibukkan dengan persiapan Ajang Kreasi Makanan yang melibatkan kelompok Perempuan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo. Mereka sepakat memilih area perkebunan sawit yang tidak jauh dari pemukiman sebagai lokasi pelaksanaan kegiatan.

Biar terasa, Kak memasak di alamnya, kayak orang tua kami dulu,” tutur Sri Bungo. Perempuan dua puluh satu tahun tersebut merupakan salah satu kader perempuan dari komunitas adat dampingan Pundi Sumatra. Sejak pagi tadi, Sri Bungo sudah siap dengan Gadung yang akan diolah menjadi nasi rimba. Meski dikenal beracun, Gadung yang diolah Sri Bungo adalah pangan lokal yang sejak dulu telah dikonsumsi oleh Suku Anak Dalam.

Sekarang kalau cari gadung agak jauh masuk ke dalam,” cerita Sri Bungo ambil memarut Gadung. Perempuan beranak satu ini memang gemar memasak sedari kecil. Dari neneknyalah Sri Bungo diberitahu bahwa Gadung mengandung racun sehingga harus diolah dengan benar.

Pembuatannyo lamo kak, biso seminggu. 3 hari direndam di darat dan sehari di sungai,” ujarnya. Sri Bungo bercerita bahwa racun pada Gadung akan hilang dengan cara dicuci bersih berkali-kali. Setelah itu, Gadung dijemur hingga kering, kemudian ditumbuk hingga menjadi tepung. Tepung tersebut direndam lagi untuk menghilangkan sisa racun, lalu dikeringkan sekali lagi sebelum akhirnya dimasak menjadi nasi rimba.

Gadung yang telah dikeringkan. Foto: Dok. Pundi Sumatra
Gadung yang telah dikeringkan. Foto: Dok. Pundi Sumatra

Asap dari sudung Sri Bungo semakin tinggi, tanda bahwa sebentar lagi nasi rimba yang ia buat akan segera matang dan siap disantap. Selain Sri Bungo, ada Diding yang mengolah sagu menjadi bubur. Rata-rata, umbi-umbian yang mereka dapat dari hutan diolah dengan cara direbus atau dicampur dengan air menjadi bubur. Meski terlihat sederhana dan tak menarik, keduanya merupakan sumber pangan lokal yang sejak dulu sampai saat ini masih mereka konsumsi.

Diding bercerita bahwa pangan lokal ini mulai ditinggalkan karena proses pengolahannya yang lama. Semenjak tinggal bermukim di tahun 2014, ia dan keluarganya mulai mengenal makanan instan dan perlahan meninggalkan jenis makanan yang direbus.

“Mengolah ini lama, jadi kami jarang mau buatnyo, paling seminggu sekali kalau ke hutan dan ketemu gadung atau bana baru kami olah,” tuturnya. Ia juga bercerita bahwa selama mengkonsumsi nasi rimba, tidak ada anggota keluarga yang mengalami sakit, berbeda dengan situasi sekarang yang kerap kali membuat anak-anak mereka terkena masalah pencernaan karena makanan instan.

Pengetahuan terhadap pangan lokal ini membuat komunitas Suku Anak Dalam telah lama mampu bertahan hidup tanpa mengkonsumsi beras. Namun mereka mulai menghadapi krisis pangan lokal akibat alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan. Sumber pangan dari hutan mulai sulit dicari sehingga mereka mulai mengenal makanan instan.

Sri Bungo dan perempuan dari komunitasnya sepakat bahwa pangan lokal yang mereka miliki lebih sehat dibanding makanan masyarakat pada umumnya. Meski sadar terhadap hal itu, Sri Bungo dan rekan-rekannya tak bisa berbuat banyak dari transisi pangan tersebut.

Permasalahan tersebut telah coba diatasi oleh Pundi Sumatra melalui program ESTUNGKARA sejak tahun 2022. Para perempuan dari komunitas Suku Anak Dalam menjadi kelompok perubahan untuk menjaga tradisi pangan lokal dari kelompoknya. Kegiatan yang dikemas dalam kampanye pangan lokal ini bertujuan untuk melestarikan kembali serta memperkenalkan sumber-sumber pangan dari hutan yang biasa dikonsumsi oleh komunitas Suku Anak Dalam.

“Nasi rimba ni bikin kenyang, tapi mengolahnyo lamo,” tutur Sri Bungo. Di tengah gempuran makanan instan dan modern, beberapa perempuan dari komunitas Suku Anak Dalam adalah penjaga warisan kuliner yang tak ternilai harganya. Melalui upaya inklusi tersebut, harapan untuk melestarikan dan menghidupkan kembali kearifan lokal ini tetap menyala, seperti api di perapian Sri Bungo yang terus berkobar, menghangatkan, dan menghidupkan semangat komunitasnya. Mari bersama-sama mendukung dan menghargai keberagaman pangan lokal yang kaya akan cerita dan nilai budaya.

Saksikan