
Mencari Bana – Pangan Legendaris Suku Anak Dalam
Pendamping lapangan juga manusia, yang kadang dihadapkan pada kejenuhan akan rutinitas sehingga perlu secara mandiri berimprovisasi untuk menyegarkan kembali semangat maupun pikiran. Caranya tentu sangat beragam, mulai dari mengajak anak-anak mandi di sungai, memancing ikan, mencari buah sebalik sumpah, mengikuti warga Suku Anak Dalam (SAD) berburu, melakukan permainan tradisional bersama ataupun mencari buah-buahan atau umbi khas pangan lokal SAD. Beberapa kegiatan itulah yang Saya, Arif selaku Faslap Rombong Juray Pematang Kejumat Kabupaten Sarolangun kerap lakukan.

Hari Juari dan Duya mengajak Saya masuk ke hutan. Mereka adalah anak-anak dari komunitas yang Pundi Sumatra dampingi. “Kito cari Bana, bang!” celoteh Juari kepada Saya. Bana adalah sejenis umbi-umbian yang hanya bisa ditemukan pada kumpulan belukar di dalam rimba. Cerita orang-orang tua terdahulu, sebelum mereka mengenal beras; selain mengkonsumsi buah dan daging dari hewan buruan, komunitas SAD mengkonsumsi bana sebagai sumber karbohidrat. Mencari Bana menurut mereka tidak perlu menggunakan alat khusus, cukup menggunakan parang, sebagai alat untuk menggali tanah. Karena letak umbi tersebut, biasanya tidak terkubur jauh di dalam tanah. Warga SAD menandai adanya bana, dengan memperhatikan jenis daunnya yang merambat di atas permukaan. Biasanya bana tumbuh di tanah yang gembur dan berada di semak-semak belukar yang rimbun.
Perjalanan mencari Bana hari itu cukup menantang. Kurang lebih 2 jam kami berjalan kaki menuju hutan tersisa yang paling dekat dengan lokasi pemukiman. Uniknya cukup sulit bagi Saya untuk menemukan Bana, tapi tidak bagi Juari dan Duya. Anak-anak itu dengan cepat langsung bisa menandai jenis tumbuhannya dan segera menggali tanah untuk mendapatkan bana. Tidak semua bana yang diperoleh berukuran besar. Biasanya penggalian tidak dilanjutkan jika bana yang terpegang berukuran kecil. Kadangkala sekian lama menggali bana juga kerap tidak didapatkan. Keberadaan bana memang semakin langka. Mungkin karena hutan juga semakin hilang, tergantikan dengan kebun-kebun sawit yang tidak memungkinkan bana tumbuh subur di bawah tegakkannya.

Perjalanan ini sebetulnya untuk Saya tidak hanya sekedar memenuhi rasa penasaran tentang bana, atau menghilangkan suntuk atas rutinitas di lapangan. Tapi sehari bersama Juari dan Duya menumbuhkan rasa kagum saya pada anak-anak SAD yang tidak berkutat pada smartphone atau TV di rumah, tapi di usia belianya justru sudah dituntut untuk membantu orangtua mencari nafkah. Anak-anak ini punya pengetahuan banyak tentang tumbuh-tumbuhan liar, dengan nama-nama lokal yang tidak pernah Saya baca dan ketahui sebelumnya. Cara mereka bertahan hidup sangatlah menarik. Satu perjalanan ini juga membuat hubungan kami lebih akrab, tidak hanya bisa ngobrol sepanjang jalan; tapi kami juga tertawa dan bernyanyi untuk menghilangan rasa letih.
Perjalanan mencari bana hari itu sebetulnya tidak begitu mengguntungkan, karena setiap kali menggali; umbi bana yang ditemukan semuanya hampir berukuran kecil. “Kalau kita masuk lagi ke dalam hutan yang lebat, yang asli; pasti bana disana masih banyak dan besar-besar bang!” ungkap Duya. Tapi yang jelas perjalanannya pasti menuntut saya juga harus menyiapkan bekal menginap, peralatan yang lebih lengkap dan waktu yang juga cukup panjang. Tapi saya cukup merasa puas, meski sulit pada akhirnya saya bisa melihat bana pangan lokal legendaris yang kini mulai hilang dan tidak lagi banyak di konsumsi warga SAD.