Lukah! Produk Tradisional dan Harapan Masa Depan
Tangan keriput pak Sikap (70 tahun) masih sangat terampil menganyam bilah-bilah tipis potongan bambu menjadi lukah. Jalinan bilah bambu itu sesekali ditariknya lebih kuat, khususnya pada saat membuat simpul pengikat pada bagian mulut lukah, injap, badan lukah hingga bagian tutup lukah. Bagian tutup lukah ini akan secara otomatis tertutup, ketika ada ikan yang terjebak masuk ke dalam lukah.
Lukah merupakan perangkap ikan tradisional yang masih digunakan komunitas Suku Anak Dalam (SAD) untuk menjerat ikan di daerah rawa atau sungai dangkal sekitar pemukiman. Biasanya beberapa lukah dipasang di beberapa titik, di antara bebatuan, tanaman air atau di sekitar mulut parit. Penggunaan lukah juga mencerminkan hubungan harmonis SAD dengan alam, karena dengan lukah, ikan yang terjerat hanya berjumlah sedikit namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak mengambilnya dalam jumlah lebih, ataupun dengan cara yang merusak ekosistem sungai. Ini adalah sebagian bentuk kearifan lokal dari budaya Suku Anak Dalam. Mereka percaya bahwa alam dapat memberikan berkahnya jika dapat dikelola dengan baik.
Sejak dulu, Pak Sikap memang telah menekuni pembuatan lukah ini. Selain dipakai untuk kebutuhan anak cucunya, ia juga kerap mendapat pesanan dari warga desa sekitar. Satu buah lukah berukuran panjang satu meter dengan diameter 25 – 20 cm, membutuhkan waktu pengerjaan selama 3 sampai 4 hari mulai dari penyiapan bahan hingga pekerjaan menganyam. Satu buah lukah biasanya ia jual kisaran Rp. 80.000 s/d Rp. 150.000,- disesuaikan dengan ukuran lukah yang dipesan.
Dahulu lukah yang ia buat berbahan baku rotan, namun saat ini rotan semakin sulit diperoleh dan mahal; sehingga pak Sikap menggunakan bambu untuk bahan baku anyaman lukahnya.
“Lebih mudah membuat lukah dengan bahan rotan, hasilnya lebih halus, kuat dan tahan lama. Tapi rotan sekarang susah didapat,” ujarnya. Jika tengah memperoleh pesanan, Pak Sikap biasanya libur ke kebun atau ke hutan. Seharian ia akan duduk menganyam, bahkan berlanjut hingga tengah malam.
“Sayangnya kito belum ada listrik, ngerjokan anyaman lukah bilo malam susah nampak. Jika ado listrik, mungkin dua hari pesanan lah siap!” tambahnya.
Menganyam merupakan pengetahuan lokal yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan pada komunitas SAD. Selain Pak Sikap, ada Pak Bendung dan beberapa Induk yang juga terampil menganyam produk dari berbagai jenis bahan baku seperti rumbai, rotan dan bambu. Sayangnya anak-anak muda kurang berminat dengan keterampilan ini. Padahal jika keterampilan ini ditekuni, komunitas bisa menghasilkan beragam produk handycraft yang bisa memberi nilai tambah ekonomi pada mereka.
Oleh karena itu, atas dukungan Program ESTUNGKARA, Pundi Sumatra juga menyiapkan series pelatihan untuk kelompok dalam meningkatkan kualitas dan diversifikasi produk, untuk kemudian dapat menghubungkan produk dengan pasar. Tidak hanya masalah peningkatan kualitas dan design produk, kelompok juga akan diajak untuk menyusun SOP pembuatan produk, termasuk bersama menyepakati harga jual agar keberlanjutan produk dan kemanfaatannya juga dirasakan oleh komunitas ini.