Gerakan Pemuda Anak Dalam Sebagai Langkah Partisipatif Pemuda Dalam Pemberdayaan Suku Anak Dalam
Komunitas Suku Anak Dalam Rombong Nurani menghadapi dilema besar: hutan tempat mereka bergantung hilang perlahan, berganti dengan perkebunan sawit dan karet yang tidak memberi kehidupan. tetapi juga memaksa mereka untuk beradaptasi dalam situasi yang serba terbatas—sebuah adaptasi yang terasa seperti terpenjara. “Tidak ada lagi hasil hutan untuk kami, semua berubah jadi sawit dan karet. Hanya hutan yang isinyo kayu muda, tidak ada artinya,” tutur Bapak Ceriga, ketua RT 14 Sungai Surian, Desa Pulau Lintang, Kecamatan Bathin VIII saat ditemui di rumahnya. Ceriga adalah salah satu warga dari komunitas Suku Anak Dalam Rombong Nurani yang ditunjuk sebagai Ketua RT secara administratif di Desa Pulau Lintang. Siang itu Ceriga bersama warga komunitas Suku Anak Dalam Desa Pulau Lintang diajak untuk berdiskusi bersama para media yang dibawa oleh Pundi Sumatra. Dari cerita Ceriga, Rombong Nurani adalah Suku Anak Dalam yang berasal dari daerah Pelakar di sekitar perbatasan Pamenang. Sejak tahun 2016, komunitas adat ini telah dimukimkan oleh Kementerian Sosial melalui Dinas Sosial Kabupaten Sarolangun. Namun, pemberian rumah justru dianggap seperti ‘penjara’ bagi mereka. Menurut Ceriga, tindakan ini merupakan cara untuk mencegah agar Suku Anak Dalam tidak kembali masuk ke dalam hutan dan berkonflik dengan perusahaan-perusahaan pemilik konsesi lahan. “Kami dikasih tinggal di sini, listrik tidak ada, dikasih bantuan ternak-ternak, tapi kami dak tau cara merawatnya akhirnya banyak yang mati,” ujarnya. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Permai. Komunitas Suku Anak Dalam masih sulit mengakses layanan dasar, pendidikan, serta administrasi kependudukan yang belum menyeluruh. “Mencari obat di dalam hutan sudah susah. Kalau berobat dirujuk ke rumah sakit di Bangko,” jelasnya. Jika menilik jauh, Suku Anak Dalam telah dipaksa untuk beradaptasi dalam badai sosial. Jika terus hidup tanpa pemberdayaan, maka komunitas ini akan semakin tereksklusif dan termarginalkan dari lingkungan dan perubahan di sekitarnya.. Pundi Sumatra bersama IFAD (International Fund for Agricultural Development) melakukan pendampingan kepada Suku Anak Dalam di tiga lokasi yang ada di Kecamatan Bathin VIII Kabupaten Sarolangun. Meski fokus pada upaya mendorong ketahanan pangan bagi komunitas, kegiatan pemberdayaan juga berfokus pada upaya memperkuat kemandirian komunitas Suku Anak Dalam melalui kelembagaan lokalnya. Salah satu intervensi adalah mendorong keterlibatan aktif kelompok pemuda komunitas adat ini melalui Kelompok Gerakan Pemuda (GPAD) yang dibentuk oleh pemuda-pemuda Rombong Nurani. GPAD ini dibentuk sebagai garda untuk mencegah pergaulan yang menyimpang, menjaga etika antara pemuda, dan meningkatkan asas gotong royong dengan tetap menjaga kearifan lokal Suku Anak Dalam. Antoni ditunjuk sebagai ketua kelompok bercerita bahwa pembentukan GPAD ini didorong oleh keinginan orang tua agar anak-anak mereka tidak melupakan adat dan budaya Suku Anak Dalam di tengah perubahan zaman. “Kami mau bantu adik-adik yang belum sekolah untuk belajar juga,” ucap remaja yang sedang menempuh pendidikan akhir di sekolah menengah kejuruan (SMK). Antoni atau akrab disapa Toni juga bercerita bahwa mereka tidak setuju dengan praktik pernikahan dini yang sering dialami oleh perempuan di komunitasnya. “Menikah muda banyak hambatannya. Pikiran belum matang dan perjalanan mereka masing panjang,” ujar Toni. Anton juga cerita berbagai adat istiadat serta pantangan turun temurun yang diwariskan dari keluarga. Menurutnya hal ini akan mencegah kenakalan remaja serta perbuatan-perbuatan buruk yang mungkin saja terjadi di kelompok. Berdasarkan data baseline Pundi Sumatra, ada sekitar sepuluh orang anak yang bersekolah di komunitas Rombong Nurani. Tiga orang sudah duduk di SMK, dan sisanya masih di bangku sekolah dasar. Sedikitnya jumlah anak yang bersekolah dipengaruhi dengan tingkat ekonomi orang tuanya. Sayangnya, anak-anak yang bersekolah ini kerap terpaksa belajar dalam suasana gelap. Ceriga mengatakan bahwa sudah lebih dari sepuluh tahun mereka hidup tanpa listrik. “Ada yang beli panel surya, tapi sama aja pakai genset dan cuma bisa hidup sebentar,” ucapnya. Keterbatasan akses listrik sejatinya tidak melunturkan semangat anak-anak untuk belajar. Fasilitator Pundi Sumatra bersama GPAD berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran untuk membantu mengejar ketertinggalan anak-anak dalam belajar. Dengan GPAD yang memiliki beberapa divisi, seperti Divisi Pemberdayaan Pemuda dan Masyarakat, Divisi Olahraga, serta Divisi Seni dan Budaya komunitas ini menunjukkan bahwa mereka tidak pasif menghadapi perubahan, tetapi proaktif dalam menciptakan ruang bagi pelestarian pengetahuan lokal nenek moyangnya. Pembentukan gerakan ini diharapkan dapat melunturkan stigma-stigma buruk yang ada di masyarakat luar tentang Suku Anak Dalam yang dikenal telah melupakan adat atau dianggap berbahaya karena terbawa moderenisasi yang kebablasan. Fasilitator Pundi Sumatra, Prayoga Aidil menjelaskan bahwa GPAD akan menjadi penggerak internal untuk mempercepat proses kemandirian Suku Anak Dalam, khususnya membangun kederisasi di tingkat remajanya. “Project IPAF Cycle 6 yang hanya 3 tahun ini tentu terbilang singkat sehingga menggerakan kelompok pemuda sebagai agen perubahan dirasa penting untuk membantu program pendampingan Pundi Sumatra,” tuturnya. Lebih lanjut, rencananya kelembagaan kelompok GPAD ini akan disahkan oleh pemerintah desa. Kolaborasi ini perlu terus diintensifkan untuk memastikan bahwa komunitas SAD tidak hanya menjadi penonton dari perubahan yang terjadi di sekitar mereka, tetapi dapat menjadi aktor utama dalam menentukan masa depan mereka sendiri
Baca juga : Mengupas Praktik Baik dan Tantangan Sosial Budaya Suku Anak Dalam Jambi melalui Jurnalis Visit