
Belajar Bersama di Ruang Suara Pemuda Inklusi
Tidak semua anak muda punya ruang untuk benar-benar didengar. Banyak diantara mereka yang ingin menyampaikan pendapat, tapi masih ragu, malu, atau takut salah. Dari kegelisahan itulah, Pundi Sumatra bersama Indika Foundation mengadakan Youth Bootcamp dan Intensive Course “Ruang Suara Pemuda Inklusi” bersama Gerak Dampak Academy. Momentum ini bertujuan untuk menciptakan ruang belajar, ruang bertemu, dan ruang berbagi para pemuda pemudi Jambi untuk membicarakan isu-isu sosial bersama.
Pada 6 – 7 September 2025, lebih dari tiga puluh pemuda dari berbagai perguruan tinggi dan komunitas berkumpul dalam Youth Bootcamp. Selama dua hari penuh, mereka membahas mengenai isu-isu penting yang dekat dengan kehidupan sehari-hari: iklim politik di Indonesia, kesehatan yang tidak selalu merata, budaya yang perlahan memudar, hingga kesetaraan gender yang masih penuh tantangan.
Awalnya banyak peserta yang masih canggung. Ada peserta yang memilih diam, ada pula yang takut pendapatnya dianggap salah. Aula Universitas Muhammadiyah Jambi yang menjadi lokasi kegiatan sempat bernuansa kaku. Namun perlahan-lahan suasana bootcamp mulai berubah, seiring dengan canda tawa saat perkenalan. Mereka dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk berlatih menyampaikan gagasan dan pikiran. Dalam kelompok kecil itu juga mereka diberikan kebebasan untuk berbicara.
Setelah itu, mereka diminta untuk melakukan presentasi singkat tentang hasil diskusi kelompok. Saling melempar pertanyaan dan argumen yang sebelumnya terasa sulit, kini mulai mengalir dengan lebih lancar. Beberapa peserta yang semula hanya diam, perlahan berani mengangkat tangan, menyampaikan pendapat, bahkan menanggapi argumen temannya.
Suasana ruangan yang tadinya kaku berubah menjadi hidup. Ada yang berbeda pendapat, ada yang menguatkan, tapi semuanya dilakukan dengan saling menghargai. Dari proses itu, para peserta belajar bahwa berbicara bukan sekadar mengeluarkan suara, melainkan juga tentang mendengarkan, memahami, dan memberi ruang bagi pandangan orang lain.
Dari forum kecil ini lahir berbagai refleksi. Yusril misalnya, ia berpendapat bahwa politik haris dimulai sejak muda. “Kalau anak muda diam saja, jangan salahkan kalau keputusan politik selalu dibuat tanpa mempertimbangkan kita,” tuturnya dengan lantang.
Ada juga Alya yang berpendapat tentang kesehatan. Menurutnya kesehatan itu bukan cuma soal sakit atau obat, tapi soal siapa yang bisa dapat akses layanan. “Kalau masyarakat adat tidak bisa berobat karena jauh dari puskesmas, itu kembali lagi soal keadilan yang tidak mereka dapatkan,” ujarnya.
Sementara Nuraini mengingatkan pentingnya inklusi. “Perempuan adat sering dianggap hanya pengikut. Padahal kalau mereka tidak bicara, separuh cerita komunitas bisa hilang.”
Selama dua hari ini, para peserta mempelajari materi tentang Good Global Citizen dan konsep HARMONI. Kedua materi ini merujuk pada konsep untuk menciptakan warga negara yang memiliki kepekaan terhadap isu-isu penting dunia dan memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan globalisasi.
“Dari proses bootcamp ini, para pemuda belajar bahwa perubahan lahir dari kesadaran, keberanian untuk memahami, merasakan lebih dalam, dan bertindak lewat aksi nyata,” tutur Tari selaku Manager Program Sudung PUNDI SUMATRA.

Intensive Course: Mengurai Akar Masalah, Membangun Suara Pemuda
Perjalanan tidak berhenti di bootcamp saja. Pada 14 dan 20 September 2025, para peserta yang terpilih diberi kesempatan untuk lanjut ke intensive course. Jika bootcamp membuka wawasan, kali ini mereka diajak masuk lebih dalam: mengurai akar masalah, menganalisis tantangan nyata, dan merumuskan gagasan perubahan. Para peserta dipersiapkan untuk menyusun rencana aksi yang bisa mereka lakukan saat berada di komunitas Suku Anak Dalam.
Di sini, para pemuda dari komunitas Suku Anak Dalam Kabupaten Sarolangun juga ikut berpartisipasi, mereka adalah Nodi, Sarini, Etika, Nita, Natanael dan Juari. Para kader SAD dampingan PUNDI SUMATRA ini akan berbaur dengan para peserta dan menceritakan kehidupan mereka sehari-hari. Para peserta bisa melakukan validasi ataupun menggali masalah-masalah yang masih dialami komunitas adat Jambi tersebut.
Melalui metode pohon masalah, setiap kelompok mendiskusikan isu yang mereka anggap paling mendesak. Ada yang menyoroti pendidikan, karena masih banyak anak Suku Anak Dalam yang putus sekolah akibat keterbatasan biaya dan rendahnya kesadaran orang tua. Ada pula yang membahas kepemimpinan, di mana peran temenggung masih dominan sementara pemuda merasa kurang percaya diri untuk bersuara.
Isu budaya juga menjadi perhatian, terutama karena modernisasi membuat generasi muda enggan belajar tradisi, sehingga ada risiko pengetahuan adat akan hilang. Dari sisi politik, peserta mencatat bahwa hak bersuara pemuda dan perempuan sering terpinggirkan, bahkan masih ada stereotip bahwa perempuan tidak layak memimpin.

Di bidang kesehatan, persoalan semakin kompleks: minimnya akses layanan, kerusakan lingkungan, risiko stunting, hingga pernikahan dini. Sedangkan di ranah ketahanan pangan dan ekonomi, mereka menyoroti diskriminasi harga terhadap hasil pertanian komunitas serta keterbatasan lahan yang membuat usaha tani tidak mampu meningkatkan kesejahteraan.
Setelah mengidentifikasi masalah-masalah tersebut, para peserta diminta untuk menyusun rencana aksi yang lebih spesifik dan berdampak selama beberapa hari. Para peserta yang terpilih akan diikutsertakan dalam kegiatan Payo Bemalom Kito Bececakop yang akan digelar pada awal Oktober mendatang.
“Saya berharap kegiatan bootcamp ini bisa menarik minat pemuda Jambi yang memang tertarik dengan isu perdamaian. Semoga saat aksi nyata di lapangan, komunitas SAD menerima dengan tangan terbuka pemuda-pemuda ini,” tutup Tari.