Pertama Kali Menulis, Kader Suku Anak Dalam Abadikan Perubahan Hidup Mereka dalam Sebuah Buku

Pertama Kali Menulis, Kader Suku Anak Dalam Abadikan Perubahan Hidup Mereka dalam Sebuah Buku

Hilangnya rimba bagi komunitas Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi bukan sekedar hilangnya pepohonan atau sumber pangan. Rimba adalah rumah, ruang hidup, dan bagian dari identitas mereka. Ketika hutan mulai berubah menjadi perkebunan monokultur, cara hidup SAD ikut bergeser, dari pola berburu dan meramu menuju kehidupan masyarakat yang terikat dengan pasar, dari kebersamaan erat dengan alam menuju tantangan menghadapi perubahan sosial yang tidak selalu mereka kehendaki. 

Hilangnya ruang hidup mereka kerap kali diceritakan oleh para ahli, aktivis, jurnalis, akademisi, hingga pejabat pemerintah atau peneliti. Namun jarang sekali suara itu datang langsung dari mereka sendiri. Karena itu, perubahan-perubahan yang mereka alami perlu terdokumentasi secara permanen, agar tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga sarana advokasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Untuk pertama kalinya, para kader muda SAD didorong untuk menulis sebagai cara mereka bercerita tantang rimba yang jian menyempit, tentang kehilangan yang masih mereka rasakan, dan tentang upaya mempertahankan jati diri di tengah dunia yang berubah cepat. 

Buku “Yang Berubah Setelah Rimba Tiada” adalah buah dari proses panjang ini. Beberapa tulisan adalah buah pikir kader SAD yang sebagian besar baru pertama kali menulis pengalaman hidup. Mereka hanya diminta bercerita apa adanya. 

Menulis sebagai Cara Bercerita tentang Perubahan

Proses penulisan ini tidak mereka jalani sendiri. Pundi Sumatra melalui pendampingan intensif, membuka ruang belajar melalui Workshop Menulis Kreatif yang diselenggarakan pada Juni 2025.  Selama dua hari penuh, para kader Suku Anak Dalam (SAD) dari Kabupaten Sarolangun dan Bungo belajar merangkai kata, mengubah pengalaman menjadi cerita, dan menyalurkan suara mereka lewat tulisan.

Melalui dukungan Program ESTUNGKARA, Pundi Sumatra berkomitmen menghadirkan cerita perubahan bukan lagi dari sudut pandang orang luar, melainkan langsung dari kacamata subjek yang selama ini didampingi. Karena itu, selain para kader SAD, para fasilitator lapangan juga diminta menuliskan refleksi pengalaman mereka mendampingi komunitas—sebuah catatan yang memperkaya isi buku dengan perspektif ganda: dari dalam komunitas dan dari para pendamping.

Dalam pelatihan tersebut, Pundi Sumatra menghadirkan Jhoni Imron sebagai trainer sekaligus editor. Jhoni bersama tim komunikasi Pundi Sumatra kemudian memfinalkan naskah-naskah itu hingga menjadi sebuah antologi yang utuh: “Yang Berubah Setelah Rimba Tiada.”

Siska, kader Suku Anak Dalam, berbagi pengalaman menulis tentang perubahan hidup mereka dalam sebuah buku. Foto : Dokumentasi Pundi Sumatra
Siska, kader Suku Anak Dalam, berbagi pengalaman menulis tentang perubahan hidup mereka dalam sebuah buku. Foto : Dokumentasi Pundi Sumatra

“Awalnya kami ragu menulis, takut salah. Untuk apo menulis, dak ada yang mau baco,” ujar Siska saat diajak Ulvi Fasilitator Lapangan untuk mengikuti pelatihan menulis di Jambi. Para fasilitator terus memberikan pengertian dan motivasi kepada para kader yang akan dilibatkan menjadi kontributor buku. 

“Menulis ini menurut saya ujung dari segala pelatihan yang kami berikan ke kader-kader SAD. Setelah dua tahun lalu mereka belajar berkomunikasi, berpendapat, kami tantang mereka untuk mencoba menulis menuangkan isi pikiran mereka,” tutur Annisa Komunikasi Pundi Sumatra. 

Bedah Buku dengan Seratus Audiens 

Setelah melalui proses penulisan, pendampingan, dan penyuntingan, buku “Yang Berubah Setelah Rimba Tiada” telah rampung. Antologi ini telah dicetak dan siap berkelana menemui para pembaca para pembaca: komunitas, mahasiswa, akademis, hingga pemangku kebijakan sebagai sarana pembelajaran sekaligus advokasi. 

Peluncuran dan bedah buku tersebut berlangsung di Aula 1 Universitas Muhammadiyah Jambi, pada 6 September 2025. Lebih dari 100 peserta hadir untuk mendengarkan suara penulis yang berasal dari komunitas SAD. Diskusi berlanjut ke sesi Bedah Buku dari Berbagai Perspektif yang menghadirkan Mahendra Taher (Ketua Badan Pengurus Pundi Sumatra), Yael Stefani (Kemitraan Partnership), Citra Rahmatia (Universitas Muhammadiyah Jambi), dan Budi Setiawan (Penggagas Forum Pemberdayaan SAD). Dari masing-masing narasumber, peserta mendapatkan pandangan yang beragam: dari refleksi pengalaman pendampingan komunitas adat, nilai akademis pengetahuan lokal, hingga pentingnya advokasi berbasis narasi komunitas.

Para kader Suku Anak Dalam menerima apresiasi atas buku yang mereka tulis, dalam peluncuran dan bedah buku di Universitas Muhammadiyah Jambi pada 6 September 2025. Foto : Dokumentasi Pundi Sumatra
Para kader Suku Anak Dalam menerima apresiasi atas buku yang mereka tulis, dalam peluncuran dan bedah buku di Universitas Muhammadiyah Jambi pada 6 September 2025. Foto : Dokumentasi Pundi Sumatra

Mayoritas peserta yang berasal dari kalangan mahasiswa menunjukkan antusiasme tinggi. Mereka tertarik pada bagaimana pola hidup Suku Anak Dalam perlahan memudar di tengah derasnya arus perubahan zaman, sekaligus terinspirasi oleh keberanian penulis muda SAD yang untuk pertama kalinya menghadirkan kisah mereka ke ruang publik.

“Tulisan mereka menyentuh sekali, seperti membaca catatan sehari-hari yang mudah dimengerti,” tutur Dorel salah satu tamu undangan.