Memulihkan Hutan, Menopang Hidup

Memulihkan Hutan, Menopang Hidup

Kawasan hutan di Sumatra tak hanya memeluk barisan pohon tua yang menjulang atau menjadi rumah bagi satwa liar. Di sana juga hidup ribuan keluarga petani kecil yang menambatkan nasib pada kebun sawit mereka. Sawit memang tak terbantah membawa luka bagi lingkungan, ia merenggut tutupan hutan, memudarkan sumber air, dan menekan keanekaragaman hayati. Meski begitu, bagi para petani kecil, sawit adalah penopang hidup. Dari sanalah mereka menyekolahkan anak, serta membeli beras demi asap di dapur yang tetap mengepul. 

Persoalan muncul, ketika sebagian kebun sawit itu terlanjur berdiri di atas tanah yang secara hukum masih kawasan hutan. Ini menjerat petani dalam dilema yang sunyi. Di satu sisi, mereka menggenggam tumpuan ekonomi keluarga, sedang disisi lain, mereka tanpa sadar mengekang nadi hutan. Meski begitu, menuding mereka sebagai pihak yang salah adalah pandangan yang pincang. Sebab petani-petani kecil ini hanya mewarisi keadaan yang tak banyak memberi mereka pilihan. 

Pertanyaan paling getir lalu menggantung; bagaimana memulihkan fungsi hutan tanpa merobohkan sendi hidup petani? Di sinilah upaya Strategi Jangka Benah hadir sebagai jalan tengah. Dengan melibatkan para pihak untuk mendorong praktik baik memulihkan hutan, sekaligus merawat kehidupan manusia yang bergantung padanya. 

Strategi Jangka Benah adalah pendekatan tata kelola lanskap yang mengakomodasi keberadaan sawit dalam kawasan hutan untuk sementara waktu. Selama masa tersebut, dijalankan strategi pemulihan ekologi melalui penanaman berbagai jenis pohon hutan yang bernilai ekonomi maupun ekologi (agroforestri). Harapannya, ketika siklus hidup sawit berakhir, kawasan yang mengalami keterlanjuran tersebut telah bertransformasi menjadi hutan multiguna yang produktif dan lestari. 

Program Jangka Benah ini digagas dan mulai diimplementasikan oleh berbagai pihak. WWF Indonesia, Pundi Sumatra, bersama Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Fakultas Kehutanan UGM memfasilitasi pendekatan ini, bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tebo, serta didukung KLHK. Lokasi yang dipilih adalah kebun petani yang telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah yang dikuatkan dengan Izin Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Para petani sawit lokal menjadi pelaku utama, menjalankan praktik agroforestri di atas lahan mereka yang berada di kawasan hutan. 

Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, menjadi salah satu pilot project penerapan Jangka Benah di Indonesia. Di wilayah ini, masih banyak kebun sawit rakyat yang berada dalam kawasan hutan produksi. Di sisi lain, masyarakat sangat bergantung pada sawit sebagai sumber penghasilan. Tantangan inilah yang hendak dijawab melalui program Jangka Benah. 

Suasana Sekolah Jangka Benah di Desa Suo-Suo, tempat para petani belajar langsung teknik pengomposan dan penyemaian bibit. Foto : Dokumentasi Pundi Sumatra
Suasana Sekolah Jangka Benah di Desa Suo-Suo, tempat para petani belajar langsung teknik pengomposan dan penyemaian bibit. Foto : Dokumentasi Pundi Sumatra

Salah satu langkah awal dari program ini adalah Sekolah Jangka Benah yang diselenggarakan pada 4 – 6 Mei 2025 bertempat di Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Sekolah Jangka Benah ini dihadiri oleh 19 orang peserta yang terdiri dari perwakilan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, para akademisi, WWF Indonesia, dan perwakilan beberapa lembaga lokal. Kegiatan ini menghadirkan narasumber diantaranya Bambang Yulisman, S.Hut., M.Si. (Kepala Bidang Perhutanan Sosial Provinsi Jambi), Dr. Forst. Bambang Irawan, SP, M.Sc. IPU (Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Jambi), Dr. Ir. Hero Marhaento, S.Hut., M.Si., IPM., Stevie Vista Nissauqodry, S.Hut., M.Sc., dan Denni Susanto, S.Hut., M.Sc. (Fakultas Kehutanan, UGM). Esoknya, para peserta mengunjungi Desa Suo-Suo Kabupaten Tebo untuk melakukan penanaman bibit dan peresmian program. 

Simbol komitmen bersama: perwakilan Pemkab Tebo, akademisi, dan petani melakukan penanaman perdana bibit durian di lahan Koperasi HTR Bungo Pandan. Foto : Dokumentasi Pundi Sumatra
Simbol komitmen bersama: perwakilan Pemkab Tebo, akademisi, dan petani melakukan penanaman perdana bibit durian di lahan Koperasi HTR Bungo Pandan. Foto : Dokumentasi Pundi Sumatra

Namun pelaksanaan tahap awal program tidak lepas dari tantangan. Masih terbatasnya pemahaman petani terhadap konsep agroforestri, serta kurangnya sarana pendukung seperti bibit lokal dan pupuk menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Meski demikian, melalui diskusi intensif dan pendampingan langsung, perlahan para petani mulai menunjukkan antusiasme. Mereka kini menanam pohon-pohon seperti durian, petai, hingga meranti yang punya nilai ekonomi sekaligus memulihkan ekologi.

Arief, selaku koordinator program menyampaikan bahwa para petani harus dipandang secara subjek. “Kami menempatkan petani sebagai subjek utama dalam transformasi ini. Dalam setiap tahapan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, mereka dilibatkan secara aktif. Pendekatan ini penting agar keberhasilan tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga mengakar secara sosial,” tuturnya.

Pundi Sumatra melihat program ini sebagai ruang belajar kolektif yang penting. “Kami percaya, memulihkan hutan tidak hanya soal menanam pohon, tapi juga menanam kesadaran dan rasa memiliki. Dengan cara ini, petani tidak merasa terancam kehilangan mata pencaharian, melainkan menjadi bagian dari solusi,” ujar Sutono selaku Manager Program Kokke Pundi Sumatra.

Pundi Sumatra terlibat aktif dalam memperkuat pelaksanaan program Jangka Benah, tidak hanya pada aspek sosial, tetapi juga melalui penguatan kelembagaan, perlindungan hak-hak masyarakat, serta upaya memastikan keberlanjutan ekonomi mereka. Pundi Sumatra optimistis program Jangka Benah ini bukan sekedar memulihkan ekosistem yang terlanjur rusak, tetapi juga mampu memperkuat perekonomian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. 

Hal ini tercermin dari dua kelompok perhutanan sosial yang kini terlibat langsung dalam penerapan Jangka Benah, yakni Koperasi HTR Bungo Pandan dan Koperasi HTR Setia Jaya Mandiri. Keduanya menjadi contoh nyata bagaimana inisiatif ini dapat menghadirkan manfaat ganda, hutan perlahan kembali hijau, sementara pendapatan masyarakat terus tumbuh melalui praktik-praktik pengelolaan hutan yang lebih lestari.

Dengan tata kelola adaptif, berkeadilan, dan menghormati kearifan lokal, kita dapat merajut jalan tengah: menjaga hutan sekaligus menopang hidup keluarga petani.

Baca juga : Pundi Sumatra Dorong Konservasi Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat melalui Strategi Jangka Benah di Desa Suo-Suo