
Pundi Sumatra Ajak Millennials Mengenal Kegiatan Pemberdayaan Suku Anak Dalam (Sad) Melalui Inklusi Goes To Campus
Sejak tahun 2012 Pundi Sumatra melakukan pemberdayaan kepada Suku Anak Dalam (SAD) di sepanjang jalan lintas tengah Sumatera. Sepanjang perjalanan itu pula lembaga yang berdiri sejak tahun 2006 ini menggalang dukungan dari berbagai pihak untuk dapat terlibat dalam mendorong perubahan sosial tersebut dan memperluas gerakan inklusi sosial sebagai satu pendekatan yang dipilih dalam upaya mewujudkan kualitas hidup yang jauh lebih layak bagi kelompok SAD melalui berbagai praktik baik.
Mendorong gerakan inklusi sosial sebagai gerakan yang masif tentunya tidak dapat mengabaikan peran millenials dalam wadah institusi perguruan tinggi. Memasuki satu dekade dalam pemberdayaan SAD, Pundi Sumatra kian gencar menggandeng perguruan tinggi yang ada di Provinsi Jambi dalam praktik-praktik kolaborasi program. Hal ini sejalan dengan penyelenggaraan Tri Dharma perguruan tinggi, yaitu pembangunan, pengabdian, dan penelitian yang merupakan pondasi untuk dapat mencetak mahasiswa berkualitas serta dapat menjadi agent of change, sebagai pemberi aksi yang solutif bagi masyarakat.
Berdasarkan hal itu, pada awal Maret lalu, Pundi Sumatra menggelar event Inklusi Goes to Campus di dua perguruan tinggi yang ada di Provinsi Jambi, yakni di Universitas Muara Bungo (UMB) dan Universitas Jambi (UNJA). Setelah penandatanganan nota kesepahaman pada kedua perguruan tinggi ini, kegiatan Inklusi Goes to Campus merupakan langkah awal yang dilakukan untuk memperkenalkan program pemberdayaan SAD kepada seluruh civitas akademik khususnya kelompok millenials.

Pada pelaksanaan Inklusi Goes To campus di Universitas Jambi (06/03/23), turut hadir Bejujung (23) dan Besiar (23), anak SAD yang kini tengah menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian UNJA. Hadir pula Juliana (21) yang kini berkuliah di Jurusan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Jambi dan 6 orang kader-kader muda SAD dari lokasi binaan Pundi Sumatra di Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo.
Dalam kesempatan sesi diskusi, CEO Pundi Sumatra, Dewi Yunita Widiarti menyampaikan bahwa pendekatan inklusi sosial yang dilakukan kepada Suku Anak Dalam (SAD) bertujuan untuk memastikan keberterimaan masyarakat luas pada komunitas SAD, karena komunitas SAD merupakan bagian WNI yang memiliki hak yang sama untuk dapat mengakses semua layanan dasar yang pemerintah selenggarakan. Pendampingan adalah upaya memperjuangkan pemenuhan hak-haknya tersebut, dan pemberdayaan adalah strategi meningkatkan daya tangguh komunitas, untuk dapat survive dan mandiri menuju kualitas kehidupan yang jauh lebih baik kedepannya.
“prinsip kerja kita adalah kolaboratif para pihak, pun jika adik-adik mahasiswa mau ikut berpartisipasi dalam proses ini, tentu kita terima dengan senang hati dan tangan terbuka, karena kerja pemberdayaan ini selalu membutuhkan inovasi dan ide kreatif yang baru,” tuturnya.
Layanan dasar yang menjadi perhatian untuk komunitas adat ini diantaranya adalah, layanan pendidikan, layanan kesehatan, pengembangan ekonomi, serta advokasi kebijakan. Untuk mencapai hasil yang maksimal dari berbagai perspektif, Dewi juga menjelaskan tentang strategi pemberdayaan yang telah dijalankan, yaitu dengan pendampingan live in, mendorong kaderisasi di tingkat generasi muda, penguatan kelembagaan lokal, memperkuat kolaboratif para pihak, dan integrasi program pemberdayaan dengan program desa.
“Salah satu strategi pendampingan kita ini adalah live in, artinya tinggal bareng dengan warga SAD di sana. Live in kami percaya menjadi satu strategi yang efektif untuk membangun investasi sosial dalam proses pendampingan. Mengikuti rombong pergi berburu juga kita lakukan, untuk mendapatkan kepercayaan dari komunitas selain juga jauh lebih mengenal adat dan budayanya,” terangnya lagi.
Akademisi dari UNJA, Dr. Fuad Muchlis, S.P., M.Si, juga menyatakan bahwa Suku Anak Dalam harus beradaptasi dengan perubahan karena sumber daya alam semakin menipis.
“SAD yang tinggal di kawasan taman nasional sangat bergantung pada hutan untuk meramu atau berburu,” katanya. Ia juga mengatakan bahwa hanya sedikit dari ribuan SAD yang tinggal di beberapa wilayah yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ini merupakan fenomena yang memerlukan solusi bersama karena hutan semakin berkurang dan populasi mereka terus meningkat.

Pada kesempatan tersebut, kelompok perempuan dari komunitas SAD Desa Dwi Karya Bakti Kabupaten Bungo berkesempatan menampilkan Tari Bedeti. Nurbaeti atau Mak Nur menjadi perempuan yang berdiri paling depan untuk merapalkan kalimat berisi doa-doa dan pemujaan, sedang 4 perempuan muda di belakangnya secara serempak mengikuti gerakan berputar yang Mak Nur lakukan. Empat perempuan muda itu adalah Juliana, Amira, Siska, dan Tira; selendang kuning dan kain jarik membalut tubuh kelima perempuan ini. Tari Bedeti merupakan satu aset budaya Suku Anak Dalam yang masih tersisa dan perlu dilestarikan agar tidak punah dan terlupakan.

Pelaksanaan roadshow Inklusi Goes to Campus di 2 lokasi ini juga diisi dengan pemutaran film Pulang Rimba karya Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) Jogjakarta. Film dokumenter itu sendiri mengisahkan pemuda Orang Rimba bernama Mt. Pauzan (24) yang kini menempuh pendidikan di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor, dan sudah duduk di semester 5.
Sutradara film Pulang Rimba, Rahmat Triguna alias Mamato, mengemukakan alasan memfilmkan kisah para Orang Rimba ini berangkat dari rasa empatinya. Dimana hingga hari ini, belum ada anak SAD yang berhasil menyandang gelar sarjana.
“Jadi film yang kami buat untuk pemantik diskusi, di film Pulang Rimba yang pertama karakter utamanya adalah Pauzan, kami menyebut sebagai credible voice. Kenapa Pulang Rimba, karena Pauzan nantinya kalau sudah lulus akan kembali ke kampungnya, membangun pertanian lebih modern dari ilmu yang didapatnya saat berkuliah,” ujar Mamato.
Film itu diselesaikan pada akhir 2022 lalu, berangkat dari riset sekira 3 bulan. Bonding trust atau proses membangun kepercayaan dengan Orang Rimba hingga mau difilmkan, menurut Mamato menjadi tantangan tersendiri dalam proses produksi film.
Saat ini, Mamato dan timnya, diproduseri Anisa Triguna, tengah melakukan pengambilan gambar untuk sekuel film Pulang Rimba II. Baik Pauzan, Bejujung, Besiar ataupun Juliana punya dinamika hampir sama. Mereka “melawan” adat dengan bersekolah hingga pendidikan tinggi, justru kisah itulah yang menarik untuk diangkat, bagaimana perjuangan untuk bersekolah bagi masyarakat adat SAD tidak mudah.