Talkshow Konservasi untuk Civitas Akademika Perguruan Tinggi
Program pendanaan yang dilakukan oleh Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Sumatera untuk siklus Hibah kesembilan akan segera berakhir di tahun 2024 mendatang. Beberapa mitra yang bekerja di wilayah Provinsi Jambi, seperti Wahana Mitra Mandiri (WMM), FKT Universitas Gadjah Mada, serta Konsorsium Burung Indonesia memiliki banyak pengalaman dan cerita lapangan yang perlu disampaikan ke khalayak umum. Selain itu, masyarakat juga perlu tahu tentang kerja-kerja konservasi yang telah mereka lakukan, sehingga memberikan wawasan baru tentang penelitian terbaru dan solusi yang dapat dikembangkan.
Berdasarkan hal itu, Pundi Sumatra selaku Fasilitator Wilayah (faswil) tengah untuk TFCA Sumatera mengadakan Talkshow seputar konservasi pada 31 Agustus 2023 lalu. Kegiatan yang bertajuk “Menyelamatkan Keanekaragaman Hayati: Upaya Bersama dalam Konservasi Satwa Liar dan Ruang Hidup” dilaksanakan di Auditorium Lantai 6 Universitas Muhammadiyah Jambi.
Mitra-mitra yang bekerja di wilayah Jambi, hadir sebagai pembicara di hadapan mahasiswa dan dosen peneliti dari berbagai perguruan tinggi di kota Jambi. Selain itu, BKSDA Jambi selaku stakeholder juga menjadi pembicara pada Talkshow tersebut. Dalam penyampaiannya, Jefri selaku Koordinator Polisi Hutan BKSDA Jambi menceritakan tentang Peran Pemerintah dalam Konservasi di Provinsi Jambi.
“Ada tiga pilar konservasi yang kami jalankan, yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan,” tutur Jefri. Ia juga menjelaskan ada 3 pembagian ruang menurut peraturan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu Kawasan Hutan Konservasi, Kawasan Hutan Produksi dan Lindung, serta Bukan Kawasan Hutan (APL). Lebih lanjut, Jefri juga menjelaskan bahwa dari 2.124.481,75 Ha kawasan hutan di Provinsi Jambi, 58,5% termasuk Hutan Produksi, 33% Kawasan Konservasi, 8% Hutan Lindung, dan 0,5% adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Selain bicara tentang kawasan hutan, Jefri juga bercerita mengenai tren penanganan interaksi negatif yang terjadi antara satwa dan manusia. Di tahun 2022, terjadi penurunan terhadap interaksi negatif antara satwa Gajah Sumatra dan manusia. Namun, hal yang sebaliknya terjadi pada spesies Harimau Sumatra yang justru mengalami peningkatan. Hal ini menjadi salah satu tantangan yang perlu dihadapi bersama mengenai kesadaran dan partisipasi aktif dari masyarakat lokal untuk pelestarian keanekaragaman hayati.
“Inti dari solusinya adalah adanya penguatan kapasitas dan penguatan ekonomi bagi masyarakat di sekitar lokasi kawasan konservasi. Kalau mereka sudah mandiri secara ekonomi, sudah sadar terhadap berbagi ruang hidup tidak akan ada lagi ribut-ribut dengan satwa,” tuturnya.
Selain itu, Irfan Nurarifin selaku koordinator project dan tim riset fauna dari Konsorsium Burung Indonesia mewakili PT REKI untuk hadir dan bercerita tentang Penyelamatan Gajah Sumatera di Bentang Alam Hutan Harapan. Melalui dukungan TFCA Sumatera, PT REKI bersama konsorsiumnya melakukan beberapa penyelamatan ruang hidup Gajah, diantaranya dengan monitoring keberadaan gajah, pelibatan masyarakat dalam mitigasi KMG, serta pengumpulan data ekologis gajah.
“Sampai Juli tahun ini, monitoring yang kita lakukan sudah mengcover area seluas sekitar 147 hektar,” ucap Irfan. Kegiatan monitoring yang dilakukan tim patrol biasanya adalah dengan melakukan penelusuran tanda keberadaan gajah seperti jejak kaki dan kotoran gajah. melakukan survei pakan gajah, pengecekan kandungan mineral tanah, serta mengurangi potensi ancaman (ranjau paku). Senada dengan yang disampaikan oleh pihak BKSDA sebelumnya, Irfan juga setuju bahwa partisipasi masyarakat dalam upaya penyelamatan satwa ini tidak bisa dianggap enteng. Bersama dengan masyarakat di Desa Pemusiran dan Desa Sepintun, Konsorsium ini juga melakukan pendampingan masyarakat dengan membuat demplot serai wangi serta pembentukan satgas KMG.
Wahana Mitra Mandiri (WMM) juga menyampaikan bahwa kerja-kerja bersama masyarakat sangat diperlukan dalam menurunkan interaksi negatif antara satwa Harimau Sumatra di Kawasan Taman Nasional Berbak. WMM fokus bekerja di desa penyangga, yaitu Desa Air Hitam dan Desa Remau Baku Tuo, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Bersama dengan kelompok mitigasi yang didirikan, mereka menjadi ujung tombak pertama kali ketika terjadi konflik di desanya.
Selain upaya-upaya yang dilakukan oleh mitra WMM dan Konsorsium Burung Indonesia, Tim Riset FKT UGM yang diwakilkan oleh Denis selaku koordinator berkesempatan menceritakan tentang alat Early Warning System berbasis Bioakustik yang sedang mereka kembangkan. Alat ini nantinya dapat mendeteksi keberadaan gajah melalui suara yang dihasilkan oleh gajah.
“Pengembangan alat berbasis suara ini sebenarnya sudah banyak dilakukan di bidang konservasi, namun belum ada yang mendeteksi keberadaan gajah melalui suara,” tutur Dennis.
Upaya konservasi melalui kacamata pendidik juga dipandang sebagai cara menggalang kepedulian mahasiswa terhadap lingkungannya. Hendra Kurniawan selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Jambi (UMJ) turut serta menjadi pembicara. Di dunia pendidikan, Pendidikan Konservasi juga menjadi trend yang selalu dilibatkan dalam setiap pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan.
“Kita sekarang sudah ada program merdeka belajar, serta magang yang semuanya bisa dikonversi menjadi SKS (satuan kredit semester). Mahasiswa yang aktif di luar tidak perlu takut, asal aktivitas tersebut bermanfaat untuk diri sendiri dan lingkungan,” tuturnya di penghujung diskusi.