Pelatihan Participatory Rural Appraisal bagi Faswil dan Mitra TFCA-Sumatra
Penyelamatan lanskap kerap di lakukan secara pararel dengan menumbuhkembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi pada masyarakat di luar kawasan. Tujuannya tentu untuk memberikan pengalihan sekaligus memberikan income pada warga, agar tekanan pada kawasan hutan semakin berkurang. Pun dalam pelaksanaan program TFCA-S oleh mitra, beberapa aktifitas pemberdayaan ekonomi menjadi kegiatan yang di dorong oleh staf-staf lapangan yang bertugas mengawal pelaksanaan kegiatan. Karenanya staf lapangan yang punya kemampuan dalam penggalian potensi, minat dan mampu menggerakan partisipasi masyarakat pada berbagai pelaksanaan kegiatan sangat di butuhkan.
PRA atau Participatory Rural Appraisal, merupakan salah satu pendekatan yang banyak digunakan staf lapangan dalam memetakan kebutuhan, potensi kewilayahan dalam perencanaan kegiatan/program di lapangan. Untuk memberikan peningkatan kapasitas dalam penguasaan metodologi PRA tersebut, pada tanggal 19-21 Oktober 2021 lalu Pundi Sumatra menggelar pelatihan PRA dan melibatkan 13 orang dari generasi muda untuk hadir sebagai peserta pelatihan. Anak-anak muda ini sebagian besar adalah alumni anggota wildlife worrior 2019, mitra kerja TFCA-S, serta perwakilan mahasiswa dari kalangan kelompok pecinta alam dari beberapa universitas di Provinsi Jambi. Acara yang berlangsung di Rumah Kito Hotel & Resort tersebut, merupakan pelatihan dasar pengenalan PRA; dimana Bapak Hambali,S.Sos menjadi narasumber utama yang mengisi materi pelatihan.
Prinsip pelaksanaan Participatory Rural appraisal (PRA) sebetulnya sangat sederhana, kata kuncinya ada pada kata “participatory” yang menekankan pelibatan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam proses pembangunan di suatu daerah, mulai dari proses perencanaan program hingga penerapan nya. Masyarakat bukan lagi sebagai objek yang menerima program dari atas (top-down), melainkan menjadi subjek pembangunan yang merancang program pembangunan dari bawah (bottom-up) dan terlibat aktif dalam proses implementasinya.
Dalam sesie pelatihan PRA tersebut, peserta juga diajak untuk memahami situasi lapangan – menguasai karakter dan kondisi masyarakat dampingan, mengetahui budaya dan tradisi setempat agar solusi yang ingin di carikan dalam sebuah permasalahan juga menjadi sulusi yang tepat berdasarkan kondisi dan realita lapang. Meski tidak di barengi dengan praktek PRA secara mendalam, peserta di perkenalkan dengan beberapa teknik PRA yang umumnya banyak di pergunakan dalam pengumpulan data seperti pembuatan peta desa, penyusunan kalender musim, transek, Diagram Venn, lintasan sejarah dll. Narasumber juga menjelaskan alat dan bahan apa yang biasanya di pergunakan dalam memfasilitasi kegiatan PRA dan seperti apa tahapan proses yang harus fasilitator lakukan untuk menumbuhkan keterlibatan aktif peserta.
Pada pelatihan PRA ini, peserta secara berkelompok juga diberi tugas untuk melakukan sosial mapping pada desa wilayah kerjanya, sebagai tahap awal pengumpulan data dan informasi – yang akan di pergunakan dalam penyusunan program/kegiatan. Peserta dalam kerja kelompok juga dilatih untuk merespon study kasus, yakni di minta untuk membahas materi kasus yang diberikan narasumber, melakukan analisa kasus serta mempresentasikan peran yang harus fasilitator mainkan dalam menghadapi kasus yang dihadapi tersebut. Dalam prakrek-praktek tersebut, narasumber ingin melatih kepekaan dan kejelian peserta dalam memposisikan diri di tengah-tengah masyarakat dampingan, khususnya dalam memfasilitasi warga untuk mencarikan solusi terbaik atas permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Kunci keberhasilan kegiatan PRA adalah anggota kelompok dapat terlibat secara pertisipatif, warga termotivasi untuk meraih capaian yang di inginkan serta pelaksanaannya yang berlangsung secara partisipatif.
Baca juga : Dilema Tiada Akhir Gajah Sumatra