Mengelola Lahan Kritis dengan Sistem Pertanian Organik di Jangkat
Jangkat, salah satu kecamatan di kabupaten Merangin yang bersinggungan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Terletak di bagian barat provinsi Jambi dan berbatasan langsung dengan provinsi Bengkulu. Gunung Masurai menjadikan tanah di sekitarnya subur dan sebagian besar jenis tanah di Jangkat adalah tanah andosol, tempat petani menumpukan sumber penghidupan mereka. Seiring berjalannya waktu, tanah subur tersebut kini menjadi kritis akibat program revolusi hijau pemerintahan orde baru, dan pertambahan penduduk di Jangkat membuat masyarakat kian berdesakan hingga masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Mitra Aksi melihat ini sebagai tanda bahaya, alarmnya sudah berdengung tak henti-henti. Harus ada tindakan nyata agar bahaya yang mengancam bentang alam Kerinci Seblat itu bisa dihentikan, salah satunya adalah rehabilitasi lahan kritis dan sistem pertanian organik terpadu yang didanai oleh TFCA-S. Dari data yang masuk ke Pundi Sumatera sebagai fasilitator wilayah tengah dan selatan, ada sekitar 1076,32 ha lahan kritis yang direhabilitasi, dan 2193,12 ha kawasan pertanian organik terpadu yang tersebar di 6 desa, yaitu: Muara Madras, Pulau Tengah, Renah Alai, Koto Renah, Renah Pelaan, dan Koto Rawang.
Pertanian organik ini bertujuan untuk melawan dampak negatif dari program revolusi hijau yang sudah mengakar ke dalam lahan pertanian di Indonesia. Penggunaan pupuk kimia secara berlebihan sudah merusak unsur hara dalam tanah. Tidak hanya itu, pemakaian pestisida juga sudah menghancurkan ekosistem karena pestisida dipastikan tidak selektif dalam membasmi hama. Sehingga setiap serangga atau hewan kecil yang hidup di area pertanian menjadi mati, padahal tidak semuanya merusak, ada sebagiannya yang justru membantu petani dalam proses peyerbukan dan melawan hama perusak tumbuhan.
Dalam menerapkan pertanian organik ini, Mitra Aksi mengadakan sekolah lapang yang diikuti oleh 25 kelompok tani yang terdiri dari 1.537 orang petani dari 6 desa tersebut di atas. Dari sekolah lapang tersebut saat ini sudah ada sekitar 40 orang petani yang dikategorikan sebagai petani pakar, yang mana petani pakar tersebut sudah bisa mendampingi kelompoknya dalam membuat pupuk organik dan biopestisida. Poin positif dari petani pakar ini terasa ketika wabah covid-19 mengisolasi fasilitator lapangan sehingga mereka tidak bisa masuk ke 6 desa dampingan. Jadi, pendampingan terhadap kelompok tani yang menerapkan sistem pertanian organik ini diambil alih oleh petani pakar dengan tetap berkoordinasi dengan fasilitator lapangan Mitra Aksi dengan gawai. Tentu ini juga sangat baik untuk keberlanjutan program. Meskipun pendampingan oleh Mitra Aksi berakhir, para petani pakar yang sudah terlatih tersebut tetap bisa menerapkan sistem pertanian organik dengan bekal ilmu yang sudah mereka dapatkan selama di sekolah lapang.
Memakai pupuk organik akan sangat membantu dalam mengembalikan unsur hara dalam tanah, sehingga lahan yang semulanya kritis bisa ditanami lagi. Penggunaan biopestisida juga akan mengembalikan ekosistem di area pertanian karena petani bisa lebih selektif dalam membasmi hama tanaman. Biaya pun bisa dihemat karena pembuatan pupuk organik jauh lebih murah dibandingkan membeli pupuk kimia. Seperti yang dirasakan oleh Pak Roma (42 tahun) salah seorang petani pakar di desa Renah Alai, dalam sekali musim cabe Pak Roma bisa menghemat biaya sekitar 8-10 jutaan. Pertanian organik ini jelas bisa menekan biaya produksi selama bercocok tanam dengan hasil panen yang lebih baik dan alami, bebas bahan kimia. Selain itu dengan adanya inisiatif kawan-kawan Mitra Aksi dalam mendampingi petani diaharapkan bisa memaksimalkan lahan garapan yag sudah ada, mereka tak perlu lagi membuka lahan baru dengan alasan lahan yang lama sudah tak produktif lagi. Sehingga pada akhirnya tekanan terhadap kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat bisa dikendalikan.