Inklusivitas Masyarakat Adat di Tengah Perubahan
Merayakan Hari Masyarakat Adat setiap bulan Agustus, menjadi momentum bagi Pundi Sumatra terlibat bersama Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi untuk mengadakan Pameran Foto Jurnalistik dengan tajuk “Masyarakat Adat di Tengah Perubahan Iklim”.
Pameran Foto Jurnalistik yang diadakan PFI Jambi diadakan selama tiga hari berturut-turut dengan menampilkan kumpulan foto-foto masyarakat adat di Provinsi Jambi dalam rentang sepuluh tahun lebih. Pameran ini menampilkan secara visual bagaimana keempat komunitas adat Jambi sedang berjuang di tengah perubahan iklim. Keempat komunitas masyarakat adat yang dimaksud, yaitu Suku Orang Rimba/Suku Anak Dalam (SAD), Suku Talang Mamak, Suku Batin Sembilan, dan Suku Duano.
Acara yang berlangsung di Taman Budaya Jambi dibuka pada Jumat malam (25/08) menampilkan Tari Bedeti sebagai salah satu tarian pembuka. Mak Nur bersama empat penari lainnya kembali membawakan tarian adat tersebut di depan Kapolda Jambi, Kepala Dinas Pariwisata Jambi, serta para penonton dari berbagai kalangan yang hadir dalam Gedung Teater Arena itu.
Kapolda Jambi Irjen Rusdi Hartono menyatakan pengakuan terhadap keberadaan komunitas adat pada setiap aspek sangatlah penting. Menurutnya sikap pengakuan tersebut adalah wujud konkret dari komitmen kepolisian terhadap keragaman budaya dan peninggalan bersejarah.
“Sudah ada diantara masyarakat adat tersebut yang kami angkat menjadi anggota (polisi rimba),” ujarnya.
Selain berkesempatan menampilkan Tari Bedeti yang merupakan doa dan prosesi turun mandi bagi bayi, melalui dukungan Program ESTUNGKARA, Pundi Sumatra mengisi sesi Seminar Inklusi dengan tema Mendorong Inklusivitas Komunitas Adat untuk Masa Depan (26/08). Bersama dengan narasumber lain CEO Pundi Sumatra, Dewi Yunita Widiarti menyampaikan bahwa pemberdayaan bukan menjauhkan mereka dari adat dan tradisi justru menguatkan mereka agar lebih mandiri. Kegiatan awal yang Pundi Sumatra lakukan dalam pendampingan komunitas Suku Anak Dalam (SAD) adalah dengan membantu pengurusan adminduk serta layanan-layanan dasar yang wajib terpenuhi, seperti pendidikan, kesehatan hingga penguatan ekonomi.
“Ini hak mereka yang harus negara berikan. Bukan berarti menjauhkan mereka dari identitas dan akar budaya,” ujarnya. Pundi Sumatra dalam program pemberdayaan yang didukung oleh Kemitraan berupaya untuk menciptakan kondisi yang inklusi (mengajak) keterlibatan mereka dalam segala aspek.
Contoh kecil dari inklusivitas yang ingin Pundi Sumatra ciptakan adalah dengan menghadirkan teman-teman dari komunitas SAD dampingan, yaitu dari Desa Pematang Kejumat – Kabupaten Sarolangun dan Desa Dwi Karya Bakti – Kabupaten Bungo. Mereka hadir dan bergabung bersama peserta seminar yang berasal dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi di Kota Jambi.
Bersama dengan narasumber lain, Juliana hadir sekaligus memberikan jawaban dari tema seminar tersebut. Ia dengan berani memperkenalkan dirinya sebagai perempuan dari komunitas SAD yang berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Kota Jambi.
“Saya kuliah mau merubah nasib kami. Sekarang hutan tidak seperti dulu yang memberikan semuanya untuk kami,” tutur Juliana. Ia adalah contoh nyata dari eksistensi SAD di tengah kondisi hutan yang sudah tidak mendukung kehidupan. Meski sejak dahulu, komunitas adat ini dikenal sebagai penjaga ekosistem yang krusial, perubahan iklim dan tata ruang menjadikan mereka harus mampu bertahan dan beradaptasi di antara kelompok masyarakat. Untuk itulah layanan pendidikan menjadi salah satu yang selalu didorong oleh Pundi Sumatra.
“Pendidikan tidak membuat mereka lupa terhadap budaya, namun memberikan mereka bekal dasar untuk mampu bertahan dan bersaing di tengah masyarakat,” tegas Dewi. Senada dengan hal itu, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, Junaedi juga menyebutkan pengakuan kearifan lokal menjadi bagian dalam memadukan teknologi dan budaya untuk menjawab tantangan perubahan iklim.
Semua sepakat bahwa perlu adanya upaya lintas sektor dan atensi yang tinggi terhadap berbagai komunitas adat termasuk Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi. Apabila hal ini tidak diperhatikan, komunitas SAD menjadi kelompok yang paling rentan mendapatkan dampaknya. Menurut Project Officer KKI WARSI, Jaiharul Maknun menjelaskan bahwa perubahan iklim menimbulkan beberapa penyebaran penyakit yang sulit diatasi oleh kelompok tersebut, diantaranya malaria, demam berdarah, TBC dan Hepatitis.
“Hutan tidak bisa menyediakan hidup lagi, karena masuknya perusahaan di wilayah-wilayah adat Orang Rimba,” ucap Mijak, salah satu perwakilan Suku Anak Dalam yang menjadi narasumber pada seminar tersebut.